Rabu, 16 Mei 2012

 Siswi Indonesia Teliti Biji dari Misi Luar Angkasa
Impatiens balsamina
HEADLINE NEWS, CIAWI - Sejumlah siswi Indonesia dari 40 SMA di nusantara terlibat dalam proyek penelitian biji dari misi luar angkasa. Penelitian para siswi ini adalah bagian dari program L'oreal Girls Science Camp (LGSC) 2012, sebuah kompetisi sains yang ditujukan khusus bagi siswi SMA Kelas X. Dalam proyek penelitian ini, siswi diajak mengamati perkembangan biji tanaman Garden Balsam (Impatiens balsamina) yang sebelumnya telah dibawa ke luar angkasa.

Biji Garden Balsam sebelumnya telah dibawa ke antariksa lewat pesawat ulang alik Discovery. Biji dibawa selama 6 bulan dalam program Space Seeds for ASEAN Future yang diselenggarakan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dan negara-negara Asia Tenggara. Program LGSC 2012 menantang para siswi untuk melihat perbedaan biji Garden Balsam yang sempat dikirim ke antariksa dan yang tidak. Metode dan analisis dari setiap siswi akan dilihat.

Saat ini, telah terpilih 15 tim sebagai finalis. Mereka akan mempresentasikan hasil penelitian di Rumah Jambuluwuk, Ciawi, pada Rabu (16/5/2012). Pihak L'oreal sebagai penyelenggara mengungkapkan bahwa penyelenggaraan LGSC 2012 tak lepas dari upaya memasyarakatkan sains dan menarik minat remaja putri ke dunia ilmu pengetahuan.

"Sains telah menjadi dasar dari inovasi L'oreal dari seluruh dunia. Memahami bahwa sains dan riset merupakan dasar penting bagi pembangunan si sebuah negara," kata Vismay Sharma, Presiden Direktur L'oreal Indonesia.

Proyek LGSC kali ini diadakan dengan kerjasama bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Pihak LAPAN menyediakan bibit dari luar angkasa yang dijadikan objek penelitian.
Clara Yono Yatini, Kepala Pusat Sains Antariksa LAPAN, mengatakan, "Remaja bisa memiliki ketertarikan dan kepedulian pada antariksa. Ini bisa didapatkan dengan penelitian biji ini."

Penelitian biji adalah salah satu cara mengeksplorasi antariksa. Fakta ataupun pertanyaan baru bisa didapatkann seperti apakah ada makhluk hidup di luar angkasa dan apakah mungkin makhluk hidup di Bumi bisa hidup di antariksa. Clara menjelaskan, kepedulian pada antariksa akan mendasari sikap kita pada Bumi.
"Jika ternyata bahwa Bumi adalah satu-satunya tempat yang bisa dihuni, maka kita harus sadar bahwa kita harus menjaganya," katanya.

Sabtu, 12 Mei 2012

LIPI Bangun Inkubator Teknologi
 
CIBINONG - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membangun Inkubator Teknologi di Cibinong Science Center, Cibinong, Jawa Barat.Peletakan batu pertama Gedung Inkubator Teknologi tersebut dilakukan, pda hari Jumat (11/5/2012). Gedung berada di tanah seluas 5,7 hektar dengan luas bangunan 1 hektar.
Deputi Jasa Ilmiah LIPI, Fatimah Z Padmadinata, mengatakan, "Inkubator teknologi ini diharapkan bisa menjadi penyambung antara kegiatan penelitian dan komersialisasi."

Pembangunan Inkubator Teknologi juga akan memperkaya wilayah Cibinong. Jika sebelumnya hanya menjadi pusat penelitian ilmu hayati, kawasan Cibinong kini bisa berkembang menjadi kawasan bisnis berbasis hayati.
Kepala Pusat Inovasi LIPI, Bambang Subiyanto, mengatakan, "Inkubator akan menjadi tempat pertemuan akademisi, pebisnis dan pemerintahan, dalam hal ini LIPI dan Pemda."

Nantinya, inkubator teknologi akan difokuskan pada pengembangan hasil penelitian bidang pangan, pertanian dan peternakan. LIPI akan melakukan validasi teknis terkait hasil penelitian, melakukan analisis kesesuaian hasil riset dengan keinginan pasar. Potensi ekonomi juga akan dianalisis. Selanjutnya, hasil riset akan dipatenkan. Akhirnya, kapital ventura diundang untuk ikut menerapkan hasil riset para peneliti.

"Akan kita ajak pihak yang berminat untuk coba lebih dulu. Mereka juga akan berkantor di sini. Kita dari LIPI akan membantu," kata Bambang.

Dari proses di Inkubator Teknologi ini, diharapkan LIPI juga bisa mendapatkan timbal balik. "Ilmuwan bisa mendapatkan respon soal hasil penelitiannya dan apa yang harus diteliti lagi," ujar Bambang.
Kepala LIPI, Lukman Hakim, mengatakan, "Ini semua akan membutuhkan dukungan peneliti dan aktivitas di laboratorium. Peneliti harus menghasilkan sesuatu yang konkrit dan terukur."

Jumat, 11 Mei 2012

 LAPAN: Sukhoi Superjet 100 Dikepung Awan



 Fraksi Liputan Awan Per Jam
JAKARTA — Analisis peneliti di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN) dengan satelit cuaca MTSAT menunjukkan bahwa Sukhoi Superjet 100 mungkin dikepung awan saat terbang di atas Gunung Salak.

"Saat terbang, awan di sekitar Gunung Salak tampak sangat rapat dengan liputan awan lebih dari 70 persen," ungkap Thomas Djamaluddin, peneliti LAPAN.

"Analisis indeks konveksi menunjukkan indeksnya sekitar 30 persen. Artinya, ada awan cumulo nimbus sampai ketinggian 37.000 kaki (11.100 meter). Sangat tebal," ucap Thomas lagi.

Dengan kondisi tersebut, menurut Thomas, pilot akan mencari jalan sehingga bisa lolos dari kepungan awan. Dari kondisi semula ketika pesawat terbang pada ketinggian 10.000 kaki, ada tiga pilihan, yaitu menaikkan, menurunkan ketinggian, atau bergerak ke samping.

Thomas mengungkapkan bahwa untuk menaikkan ketinggian, pesawat harus naik 27.000 kaki dari 10.000 kaki ke 37.000 kaki. Ini terlalu tinggi. Sementara itu, untuk bergerak ke samping, awan pun sepertinya rapat.

"Sepertinya menurunkan ke ketinggian 6.000 kaki ini dianggap paling masuk akal, walaupun riskan. Mungkin dianggap ada celah di bawah," ungkap Thomas. Ketika turun, risikonya adalah berhadapan dengan topografi gunung.

Thomas mengatakan bahwa faktor cuaca ini belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat. LAPAN hanya melakukan analisis cuaca di sekitar Gunung Salak pada saat Sukhoi Superjet 100 terbang. Menurut Thomas, cuacanya "buruk sekali".

LAPAN dengan hasil analisisnya tak ingin buru-buru membuat kesimpulan. Analisis sekadar memberi jawaban sementara pada apa yang mungkin terjadi, daripada meramaikan situasi dengan spekulasi yang tak berdasar.

Seperti diberitakan, Sukhoi Superjet 100 jatuh pada Rabu (9/5/2012) sekitar pukul 14.33.

Rabu, 09 Mei 2012

Manusia Kerdil Bone, Siapakah Mereka?
Salah satu dinding goa yang diduga menjadi perkampungan suku Oni, manusia kerdil di pedalaman hutan belantara Bone, Sulawesi Selatan.
BONE, HEADLINE NEWS — Orang-orang berukuran kerdil ternyata tidak hanya dikenal di wilayah Kerinci Seblat, Sumatera Barat; atau Liang Bua di Flores. Bila di Kerinci mereka dikenal sebagai "orang pendek", di Flores sebagai Homo floresiensis, maka fenomena orang kerdil di Bone, Sulawesi Selatan, dikenal sebagai "Suku Oni."
Cerita mengenai keberadaan orang-orang kerdil yang hidup di gua-gua di tengah hutan ini masih simpang siur. Sebagian warga yang bermukim di sekitar pegunungan Bone menjuluki mereka sebagai makhluk setengah siluman karena sulit dijumpai dan bisa tiba-tiba menghilang dalam kerimbunan hutan. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai makhluk biasa yang sama dengan manusia pada umumnya, hanya secara fisik lebih kecil.
Adjiep Padinding, budayawan yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan (DPRD Sulawesi Selatan) menuturkan, Suku Oni dahulu dikenal sebagai orang-orang yang sangat baik dan mau bergaul dengan warga Dusun Dekko. "Dulu itu kalau ada warga yang mau adakan pesta perkawinan, selalu pinjam perabot dari Suku Oni, seperti piring, mangkuk, dan yang lainnya. Tapi karena warga peminjam sering tak jujur, hubungan baik itu tidak berlanjut," katanya.
Warga yang dipinjami perabot, menurut Adjiep, sering kali tidak mengembalikan barang-barang yang disebutkan sangat bagus. Akibat ketidakpercayaan itu, anggota Suku Oni membatasi pergaulan dengan warga desa.
Keberadaan Suku Oni pertama kali diungkapkan oleh Ahmad Lukman, mantan Kepala Desa Mappesangka. Ia mengaku pernah berjumpa dengan orang-orang yang tingginya hanya sekitar 70 cm ini, bahkan ia mengaku pernah mengunjungi tempat tinggal mereka di dalam gua, di kawasan hutan Tanjung Palette.
"Waktu terpilih menjadi kepala desa untuk pertama kalinya, sekitar 17 tahun lalu, saya diundang oleh Kepala Suku Oni masuk ke dalam perkampungan mereka. Untuk mencapai permukiman itu, kita harus berjalan sekitar 3 kilometer. Saat hendak masuk memang agak sulit karena mulut guanya sangat kecil, hanya bisa dilalui orang kerdil. Tapi di dalam gua, keadaannya sudah berbeda, terlihat sangat luas, bahkan bertingkat-tingkat," urai Lukman.
Lukman mengatakan, tidak sembarangan orang diperbolehkan masuk ke dalam gua ini. Mereka yang ingin masuk harus melalui seorang perantara dan harus orang yang tak punya niat jahat. Masih menurut Lukman, bahasa yang digunakan suku ini berbeda dengan bahasa kampung sekitarnya sehingga komunikasi tidak mudah dilakukan.
Cerita lain menyebutkan, Suku Oni bisa "dipancing" keluar dari tempat persembunyiannya menggunakan buah pisang yang diletakkan di mulut gua. Namun, beberapa orang yang mencoba cara ini tidak mendapati kehadiran mereka.
Apakah Suku Oni benar ada? Seperti halnya kisah "orang pendek" di Kerinci, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar ada. Keberadaan mereka hanya diketahui dari cerita warga yang mengaku pernah melihatnya.
"Saya sering dapat laporan dari warga bahwa kalau malam-malam ada orang kecil bawa obor dan ambil air di sumur," ujar Amrullah, mantan Kepala Kelurahan Palette, yang kini menjabat Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Dinas Sosial Kabupaten Bone, Selasa (8/5/2012).

Senin, 07 Mei 2012

Paleoklimatologi: Berburu ke Masa Lampau, Meramal Masa Depan
ILUSTRASI
HEADLINE NEWS - Hampir lebih dari dua puluh tahun terakhir, ide mengenai perubahan iklim berkembang secara pesat, meskipun masyarakat yang skeptis masih mengganggap ide tersebut hanya sekedar teori sains yang masih perlu dibuktikan kebenarannya.
Masyarakat semestinya tahu jika para ahli iklim telah bersepakat bahwa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca memang akan mengakibatkan pemanasan global yang tidak diharapkan. Adapun yang  menjadi perdebatan para ahli iklim saat ini adalah terkait kapan dan seberapa besar efek yang ditimbulkan dari pemanasan global tersebut.

Isu pemanasan global mulai berkembang sejak awal tahun 90an, diawali dengan dibentuknya Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim atau dikenal secara luas sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di tahun 1988, atas prakarsa dua badan besar di PBB yakni World Meteorological Organization (WMO) dan United  Nations Environmental Program (UNEP).
Panel ini bertugas untuk melakukan tinjauan dan analisis terhadap berbagai penelitian ilmiah, informasi teknis, dan isu sosial-ekonomi terkini terkait aspek dan dampak dari perubahan iklim global. Hasilnya didokumentasikan secara komprehensif, termasuk di dalamnya formulasi dan strategi untuk mengatasi dampak dari perubahan tersebut.
Laporan IPCC dibuat secara berkala dan pertama kali dipublikasikan pada tahun 1990, kemudian dilanjutkan pada tahun 1992, 2001, dan 2007. Laporan selanjutnya akan dipublikasikan pada tahun 2014.

Salah satu topik dalam laporan IPCC adalah mengenai iklim purba atau lebih dikenal sebagai Paleoklimatologi (Paleoclimate). Bidang ilmu ini mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu puluhan sampai ribuan tahun yang lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi dalam ekosistem bumi.
Di dalam laporan tersebut dibahas berbagai  data, beragam penelitian yang tengah berlangsung, serta hipotesis terkini mengenai ilmu terkait. Termasuk di dalamnya metode dan alat-alat yang digunakan untuk mempelajari paleoklimatologi.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah mengapa kita mempelajari paleoklimatologi? Apa kaitannya dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini dan apa urgensinya dalam memprediksikan perubahan iklim di masa mendatang?

Perlu diketahui, iklim dan cuaca bukanlah sebuah subjek yang persis sama. NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) mendeskripsikan bahwa cuaca adalah kondisi atmosfer yang kita rasakan setiap harinya melalui berbagai variabel seperti suhu, curah hujan, dan angin. Adapun iklim digambarkan sebagai cuaca rata-rata dalam kurun waktu tertentu, baik dalam rentang bulanan, tahunan, ratusan hingga ratusan ribu tahun.
Melalui definisi tersebut kita dapat mengasumsikan bahwa tingkat variabilitas cuaca sangat tinggi, sehingga sulit untuk bisa diprediksi secara tepat. Sedangkan tingkat variabilitas iklim sangatlah rendah dan prediksinya relatif lebih akurat. Sebagai perumpamaan, iklim di tempat kita tinggal akan bisa diketahui dari berapa jumlah payung yang kita simpan di rumah, sedangkan cuaca dapat diketahui dari keputusan kita untuk membawa payung atau tidak, saat kita hendak keluar dari rumah pada suatu hari.

Karena iklim pada ekosistem bumi selalu bervariasi dan perubahannya hampir selalu terjadi pada setiap periode bumi, maka penelitian dalam paleoklimatologi menjadi sebuah subyek yang sangat menarik dan perlu dipelajari secara lebih rinci.
Ahli paleoklimatologi menyimpulkan bahwa perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, akan tetapi perubahan tersebut juga pernah terjadi di masa lampau. Sehingga penelitian dalam bidang paleoklimatologi dapat membantu kita dalam memahami perubahan iklim di masa yang akan datang.

Logika pemikiran sederhana terkait pentingnya mempelajari paleoklimatologi dijelaskan dalam buku Dire predictions: understanding global warming (2009). Seorang ahli iklim yang mempelajari paleoklimatologi diumpamakan sebagai dokter yang sedang berusaha mendiagnosis dan menyembuhkan pasiennya.
Pasien dianalogikan sebagai kondisi ekosistem bumi. Saat pertama kali dokter bertemu dengan pasiennya, dokter akan terlebih dahulu menanyakan riwayat kesehatan sang pasien. Misalnya dengan menanyakan penyakit apa saja yang pernah pasien derita selama ini, atau apakah penyakit yang tersebut pernah dialami sebelumnya, lalu, apa saja gejala yang dirasakan.
Sang dokter lebih lanjut akan menanyakan mengenai kegiatan atau perilaku seperti apa yang biasa dilakukan si pasien sebelum menderita penyakit tersebut, ini dilengkapi dengan pemeriksaan pada tubuh pasien untuk menegaskan diagnosa nantinya. Dokter kemudian memberikan diagnosanya dan juga memberikan alternatif penyembuhan (obat ataupun terapi), dan juga menyertakan solusi pencegahan agar penyakit yang sama tidak dialami lagi.

Hal ini kurang lebih diaplikasikan oleh para ahli iklim untuk mempelajari dan menganalisa berbagai perubahan pada iklim di masa lampau. Dikarenakan bumi tidak bisa menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para ahli iklim, maka mereka mempelajari berbagai sinyal yang terdokumentasikan di alam. Pada akhirnya dengan mempelajari dan mengetahui proses perubahan iklim yang terjadi di masa lampau, para ahli iklim bisa memecahkan misteri iklim di masa mendatang.

Menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana para ahli iklim dapat menginterpretasikan berbagai sinyal masa lampau yang terdokumentasikan di alam? Data sinyal seperti apa yang bisa menggambarkan kondisi masa lampau apalagi ketika ahli iklim mencoba meneliti data masa lampau sementara berbagai alat ukur iklim (misalnya: termometer dan barometer) bahkan belum ditemukan.
Sampai dengan abad ke-sembilanbelas, kondisi iklim dapat diketahui melalui berbagai data yang berasal dari pengukuran termometer dan barometer, atau berbagai dokumen sejarah. Sedangkan data satelit yang dapat merekam iklim permukaan bumi secara kotinyu baru tersedia sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Oleh karenanya, dalam paloklimatologi dikenal apa yang disebut sebagai data proxy atau data yang digunakan untuk menggantikan data atau kondisi iklim di suatu tempat pada waktu lampau, minimal dalam jangka puluhan tahun.

Lingkar tahun pada pohon misalnya, bisa disebut sebagai proxy karena beberapa jenis pohon bisa berumur ratusan hingga ribuan tahun (jenis Ek, Pinus, dan Beench), dimana ketebalan dari lingkaran tahun sangat sensitif terhadap perubahan suhu atau curah hujan setiap tahunnya.
Lingkaran tahun menebal saat curah hujan tinggi dan menipis saat musim kering. Melalui informasi ketebalan lingkar tahun tersebut, para ahli bisa menggambarkan curah hujan tahunan di area tersebut. Sehingga dalam hal ini, lingkaran tahun dapat digunakan sebagai data pengganti untuk memprediksi iklim di masa lampau.

Contoh proxy lainnya antara lain adalah data inti es kutub, data sedimen dasar laut atau sungai, dan juga data dari fosil karang. Data inti es kutub dan sedimen dasar laut bisa mendokumentasikan iklim di masa lampau mulai dari ribuan sampai jutaan tahun yang lalu. Data inti es diperoleh melalui hasil penggalian, berupa komposisi butiran debu, konsentrasi oksigen dalam gelembung-gelembung udara.
Data dengan sumber sedimen dasar laut dansungai dapat ditentukan melalui berbagai fosil jasad renik baik dari tumbuhan (serbuk sari) atau hewan (foraminifera, sejenis plankton), komposisi bahan kimia yang terkandung pada sedimen laut (misalnya kandungan Kalsium Karbonat).
Berbagai data tersebut dipelajari oleh para ahli iklim untuk kemudian digunakan untuk menginterpretasikan kondisi iklim di area tersebut. Pusat data NOAA mengumpulkan data-data iklim masa lampau dan menyimpannya pada jaringan laman mereka.

Kelemahan dari berbagai data paleoklimatologi adalah ketidakmampuan data untuk dapat menggambarkan mekanisme atau proses terjadinya perubahan iklim di masa lampau secara terperinci. Sehingga untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, dikembangkanlah apa yang disebut sebagai model iklim, yakni model yang berusaha untuk menggambarkankondisi iklim bumi beserta interaksinya pada ekosistem bumi (atmosfer, hidrosfer, litosfer, and biosfer).
Penggambaran kondisi ekosistem bumi diperoleh menggunakan berbagai persamaan matematis, yang nantinya diselesaikan secara numerik dengan bantuan teknologi komputerisasi.

Melalui model iklim diharapkan mekanisme dan proses perubahan iklim dapat diketahui secara rinci, untuk kemudian hasilnya dibandingkan dengan data paleoklimatologi yang tersedia.
Aplikasi model iklim di masa lampau adalah salah satu poin penting dalam menguji berbagai hipotesa perubahaan iklim di masa lampau, seperti teori perubahan iklim secara mendadak (abrupt climate) sebagaimana dijelaskan pada laporan IPCC tahun 2007.
Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa model iklim dapat digunakan sebagai penghubung antara sebab dan akibat dari terjadinya perubahan iklim di masa lampau, menghubungkan antara berbagai data paleoklimatologi yang berskala regional dengan data global, karena umumnya data-data tersebut tidak dapat memberikan informasi secara merata dan lebih bersifat musiman.

Selain itu, data paleoklimatologi dapat juga digunakan sebagai sarana pengujian berbagai model iklim yang berbeda, terlebih jika faktor yang menjadi penyebab sudah jelas dan bisa dikontrol. Contohnya dalam pengujian berbagai model iklim menggunakan konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebagai variabel yang mempengaruhi iklim. Aplikasi pengujian berbagai model iklim tersebut juga tertulis dalam laporan IPCC tahun 2007.
Sampai saat ini belum ada model yang sempurna untuk bisa menggambarkan sistem iklim dan interaksinya secara menyeluruh dan rinci. Salah satu kendalanya adalah kemampuan komputerisasi yang masih kurang memadai untuk menyelesaikan persamaan-persamaan matematis dan mensimulasikannya dalam skenario waktu yang panjang. Akan tetapi melihat perkembangan komputerisasi yang semakin maju, penelitian dalam model iklim tetap menjadi salah satu komponen terpenting dalam paleoklimatologi.

Saat ini, paleoklimatologi menjadi salah satu ilmu dengan implikasi yang sangat luas, terutama dengan isu hangat dalam konteks perubahan iklim. Interaksinya dengan beragam bidang ilmu menjadi pemicu efektif dalam perkembangan paleoklimatologi itu sendiri.
Publikasi dari berbagai data dan hipotesa terkini yang mendukung paleoklimatologi terus bermunculan setiap bulannya, meskipun data-data tersebut belumlah lengkap. Berbagai data global dari seluruh belahan bumi dengan tingkat resolusi tinggi dan tingkat keakuratan pengukuran yang relevan akan sangat diperlukan bagi perkembangan paleoklimatologi.

Jadi apa yang bisa dipelajari dari paleoklimatologi? Pastinya mengenai sejarah perubahan iklim di masa lampau yang diharapkan mampu membantu menginterpretasikan perubahan iklim yang terjadi saat ini, dan memprediksi perubahan iklim masa mendatang.
Ini jelas dapat memberikan kontribusi strategis dalam mengantisipasi efek yang akan timbul dari perubahan iklim global saat ini. Selain itu, ini membantu kita untuk bisa melakukan tindakan- tindakan preventif sebelum terjadi perubahan iklim global yang lebih drastis dan berakibat fatal bagi manusia dan ekosistemnya.

Sabtu, 05 Mei 2012

KBS: Kematian Satwa Masih Bisa Ditoleransi
 Tim medis memeriksa satu-satunya jerapah koleksi Kebun Binatang Surabaya yang ditemukan terkulai lemas
JAKARTA - Kepala Humas Kebun Binatang Surabaya (KBS), Anthan Warsito, menanggapi desakan musisi Inggris, Morrisey, yang menyerukan penutupan KBS karena banyak satwa yang mati mengenaskan.
Surat dari Morissey diberikan kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sebelum ia tampil di Jakarta. Ia meminta satwa dari KBS harus dipindahkan ke lingkungan yang lebih layak daripada bertahan di KBS dengan kondisi menderita dan seolah dibiarkan mati.
Namun, menurut Anthan Warsito, kematian satwa di KBS masih dapat ditoleransi. Menurutnya, kematian sejumlah satwa perlu dilihat sebabnya. Banyak kematian terjadi pada satwa yang sudah tua, anakan atau yang sudah sakit-sakitan sebelumnya.
"Mereka tidak tahu apa uyang terjadi di KBS," katanya.
"Kematiannya saat ini hanya 0,8 persen dari total satwa. Untuk kebun bintang, 1-2 persen itu masih dapat ditoleransi," paparnya.
"Bahkan biologist dari Berlin Zoo yang datang juga appreciate dengan apa yang kita lakukan," tambahnya.
Ia mengungkapkan bahwa KBS juga sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan. Masalah dana sedang diupayakan dengan kerjasama dengan pihak lain. Sementara, masalah overpopulasi juga tengah dipikirkan solusinya.
Sementara itu, Toni Sumampau, Ketua Harian Tim Pengelola Sementara (TPS) KBS mengatakan ia juga memiliki visi sama dengan Morrisey. Ia berharap seruan Morrisey bisa menyentuh para pengambil kebijakan untuk menyelesaikan masalah KBS.
"Meskipun baru mendengar berita ini, saya berharap ada manfaatnya. Tapi saya pikir tidak perlulah orang asing ikut-ikut menyoroti masalah KBS. Toh kami di sini bekerja dan tidak diam," kata Toni seperti dikutip Harian Surya.

Jumat, 04 Mei 2012

LIPI Akan Selidiki Praktik "Biopiracy"
CIBINONG — Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia akan mulai menyisir praktik biopiracy di Indonesia. Biopiracy adalah praktik eksploitasi sumber daya alam dan pengetahuan masyarakat tentang alamnya tanpa izin dan pembagian manfaat.

Ide ini tercetus setelah kasus kecolongan publikasi yang dialami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu. Peneliti LIPI terlibat dalam penemuan spesies baru tawon Megalara garuda dalam proyek kerja sama dengan University of California, Davis. Namun, namanya tak dicantumkan dalam publikasi.

Bambang Prasetya, Deputi Kepala Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, mengatakan, steering committee bekerja sama dengan UC Davis dari Institut Teknologi Bandung, Kementerian Kehutanan, dan LIPI sudah membicarakan ide penyisiran praktik biopiracy.

Untuk menyisir, Bambang saat ditemui dalam lokakarya "Ekosistem Karst untuk Kelangsungan Hidup Bangsa" di LIPI Cibinong, Kamis (3/5/2012), menerangkan, "Kami akan melihat publikasi penelitian dengan lokus Indonesia, tetapi tidak ada peneliti Indonesia."

Dengan cara tersebut, akan diketahui bahwa ada peneliti asing yang melakukan penelitian di Indonesia tanpa izin. Dengan melakukan penelitian tanpa izin, peneliti asing yang dimaksud sudah melakukan tindak biopiracy.

Bambang mengatakan, jika tindak biopiracy terbukti, LIPI sebagai scientific authority akan memberikan rekomendasi untuk pembuatan regulasi baru atau memperketat regulasi yang ada berkaitan dengan izin penelitian peneliti asing.

Perguruan tinggi perlu sadar


Rosichon Ubaidillah, peneliti serangga parasitoid dari Puslit Biologi LIPI, mengungkapkan, tindak biopiracy diduga sering berlangsung di Indonesia. Peneliti asing menawarkan kerja sama dengan perguruan tinggi di daerah atau peneliti secara pribadi tanpa izin.

"Perguruan tinggi ini perlu sadar. Makanya, perlu sosialisasi pada perguruan tinggi agar mengerti aturan kerja sama dengan asing," papar Rosichon yang menjadi pemberi nama spesies Megalara garuda.

Menurut dian, setiap orang harus berpikir bahwa peneliti asing yang meneliti dan mengambil spesies tanpa izin adalah pencuri, pelaku tindak biopiracy. Ia mengatakan, biodiversitas Indonesia harus dilindungi.